Pagi itu, seorang anak nampak lelap dalam fantasi, menyelami dalamnya genangan yang menenggelamkan kampung moyangnya. Bayang-bayang gedung pabrik dan limbahnya terpantul dari kaca jendela rumah PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) Kapuk Teko. Sumbangsih sebuah LSM yang peduli terhadap generasi penerus kampung ini beberapa tahun lalu. “Ayoo… Jangan Melamunnn…,!!” perintah Ibu Guru terdengar sampai keluar sekolah mungil itu, Diiringi suara metal bertalu-talu dan aroma busuk dari halaman belakang.
Korban pembangunan, mungkin tepat untuk mewakili perasaan warga Kapuk Teko di kelurahan Kapuk, kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat. Hingga penghujung tahun 1980-an kampung dan lahan makam seluas 6 hektare ini masih dikenal sebagai dataran tertinggi di kawasan Kapuk. Pemakaman di halaman depan kampung pada era itu menjadi tempat nongkrong muda-mudi setempat. Penduduk sekitar Kapuk yang kerap kebanjiran dan mengungsi ke kampung ini pun akhirnya menetap, menjual tanahnya kepada pengusaha dengan harga murah.
Memiliki rumah di dataran tinggi yang bebas banjir tinggal mimpi. Era 1990-an, pabrik dan gudang mulai berdiri di sekitar Kapuk Teko. Lahan yang dahulu berupa pemukiman, sawah dan rawa diuruk hingga lebih tinggi dari permukaan kampung ini, begitupula saluran airnya. Sejak itu, Kapuk Teko tak ubahnya ceruk penampung air yang juga menampung limbah industri dan sampah. Mencemarkan air tanah dangkal, memaksa warga membeli air bersih saban hari untuk minum, memasak dan mencuci bahan makanan.
Tercatat sejak 1982-1997, Cengkareng mengalami penurunan permukaan tanah sedalam 160 cm, hasil penelitian Amrta Institute ini menyatakan penyebabnya adalah eksploitasi air tanah yang berlebihan.
Sementara itu, kawasan hunian eksklusif yang menggagahi wilayah hutan bakau di Kapuk sejak awal 90an, dengan bangga menawarkan hunian vertikal, yang tentu saja akan semakin serakah menyedot air tanah.
Milyaran rupiah berhambur begitu saja dari kantong Pemda. Dari pembangunan rumah pompa dan jaringan saluran air yang jauh dari lokasi kritis. Hingga penyedotan dan pembersihan genangan “Kampung Apung” oleh berbagai pihak pada Mei 2014 lalu, tak tuntas, malah merusak kolam-kolam lele yang menjadi harapan baru warga Kapuk Teko sejak beberapa tahun belakangan. Upaya pemindahan 3.180 makam di halaman depan kampung ke TPU Tegal Alur juga terkendala pencatatan ahli waris, mandek dan kembali tertutup jutaan eceng gondok.
Kesal saban tahun berlomba meninggikan daratan, salah seorang sesepuh kampung ini, Pak Taeng (67) bercerita “,Sejak pembangunan di Jakarta Utara itu saja, semuanya kan sawah diurug, rawa diurug. Coba kalau masih ada rawa, air kan bisa mengalir kesana. Sekarang kalau rawanya dibikin pabrik, dibikin gudang, bagaimana? Sedangkan pabrik itu tidak mau dong tenggelam, karena dia punya uang dia mampu untuk mengurug, kalau orang kagak (berduit) bagaimana? Ngurug pakai apa? Kedepannya ya Saya pengen yang agak bagusan lah (kondisi pemukiman), tapi kalau masih begini (tergenang) ya mau gimane? Ya gini-gini aje.”
“Kalau pindah ya kita rasanya sulit, di sini sama lingkungan udah kaya keluarga sendiri. Apalagi di sini kan tanah milik, makanya meskipun banjir bagaimana juga kita gak mau ninggalin,” tutup Taeng.